Bicara guru idealis bisa jadi fikiran kita tentu akan tertuju pada guru-guru di pedalaman yang mengajar dengan kesungguhan hati bersama fasilitas sekolah yang minim. Mereka seperti tidak memperdulikan besaran nominal rupiah yang mereka dapatkan asalkan anak-anak disekitar mereka mendapatkan secercah pendidikan walaupun serba minimalis.
Guru-guru
idealis seperti itu tidak hanya tersebar didaerah pedalaman namun dapat
juga kita temui di daerah-daerah perkotaan bahkan di Ibukota sekalipun.
Sepanjang masih banyak anak-anak Indonesia yang kesulitan mendapatkan
layanan pendidikan maka pasti ada guru-guru atau penggiat pendidikan
yang membantu mereka tanpa memikirkan berapa imbalan yang mereka
dapatkan. Karena mereka mengajar dengan hati maka tidak sedikit diantara
mereka yang mampu membawa anak-anak didiknya berprestasi.
Guru-guru
idealis ini tetap mempunyai naluri ilmiah yang disadari atau tidak,
terkadang menyimpan harapan untuk mendapatkan perhatian dari lingkungan
sekitar baik pemerintah maupun masyarakat secara umum. Ketika mereka
mengetahui bahwa ada beberapa peluang pendanaan yang mungkin mereka
dapatkan maka secara tidak langsung perhatian mereka mulai sedikit
teralihkan pada masalah pendanaan, peningkatan layanan, fasilitas hingga
kesejahteraan guru yang bersangkutan.
Saat
guru-guru idealis tersebut sudah mulai teralihkan fikirannya pada
masalah kesejahteraan maka sangat besar peluang akan terkikisnya
idealisme mereka sebagai guru walau tidak hilang sama sekali. Karena
selain mereka berfikir untuk melayani pendidikan anak-anak yang kurang
mampu disatu sisi mereka juga mulai fokus untuk mencari dana guna
menunjang kesejahteraan mereka. Apalagi jika mereka mengetahui ada
pos-pos bantuan dan pembiayaan untuk kegiatan sosial, maka aktivitas
mengejar dana tersebut semakin intensif. Sehingga tidak jarang anak-anak
didik mereke dijadikan objek dalam pencarian kesejahteraan tersebut.
Guru
sejahtera umumnya guru-guru yang mengajar di daerah perkotaan dimana
sekolah mampu memberikan gaji mengajar yang tinggi atau PNS yang
mendapatkan gaji dan tunjangan berlipat baik dari pusat maupun
pemerintah daerah. Selain gaji tinggi mereka juga berkesempatan untuk
mendapat penghasilan tambahan dari mengajar les atau privat dan lain
sebagainya karena di perkotaan bisnis pendidikan tumbuh sangat subur.
Persepsi
yang muncul di mata masyarakat, khususnya pemerhati pendidikan di
Indonesia menyatakan bahwa kesejahteraan belum mampu membuktikan
peningkatan mutu pendidikan. Artinya guru yang selama ini menikmati
perubahan kebijakan mengenai gaji dan tunjangan guru masih banyak yang
belum membalasnya dengan peningkatan kinerja dan kompetensi sebagai guru
profesional.
Uang berlebih yang didapatkan oleh
guru-guru sejahtera ini masih digunakan secara euforia untuk hal-hal
yang sifatnya konsumtif dan tidak berkaitan langsung dengan upaya
peningkatan kompetensi profesi yang secara umum masih lemah.
Namun,
bagi guru-guru sekolah di perkotaan yang memulai mengajar karena
panggilan hati, maka berapapun gaji dan penghasilan yang mereka dapatkan
tidak menjadi ukuran. Guru-guru tersebut biasanya tetap fokus mengajar
dan berfikir keras bagaimana agar anak-anak didik mereka terdidik dengan
benar. Sayangnya guru-guru seperti ini porsentasenya sangat sedikit.
Masih jauh lebih banyak guru yang bereforia dengan kesejahteraan yang
baru didapatkan tersebut.
Kesimpulannya adalah
bahwa guru yang awalnya dianggap idealis dapat juga tergoda saat mereka
melihat peluang kesejahteraan di depan mata, dan guru sejahtera dapat
juga berfikir dan bersikap idealis jika mereka mengajar berangkat dari
panggilan jiwa. Tugas berat pemerintah mencetak guru-guru idealis yang
mengajar bukan karean mengejar kesejahteraan semata namun juga berangkat
dari kepedulian untuk mendidik anak-anak Indonesia menjadi lebih cerdas
secara paripurna.
Allah tidak pernah akan lupa
membalas prilaku hamba-Nya. Kesejahteraan akan dimudahkan sepanjang kita
ikhlas berjuang dan mendidik anak-anak bangsa, semoga. arsad
Jakarta, 4 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar